Fisio-Mandiri

Kamis, 22 Juli 2010

pnanganan pasca stroke


Stroke adalah defisit neurologis mendadak susunan saraf pusat yang disebabkan oleh peristiwa iskemik atau hemoragik (Setyopranoto, 2004). Insidensi stroke iskemik 81 % dan stroke hemoragik 19 % (Sidharta, 1995). Stroke non hemoragik terjadi akibat suplai darah berkurang (iskemia) atau terhenti pada sebagian daerah di otak tapi tidak sampai terjadi perdarahan. Sedangkan stroke hemoragik terjadi karena dinding pembuluh darah robek (akibat tekanan darah yang tinggi dan mendadak). Kondisi ini mengakibatkan fungsi otak terganggu (Misbach, 1999).
Setelah penyakit jantung koroner dan kanker, stroke menduduki urutan ketiga penyebab kematian di negara barat. Insidensi stroke 25 % terjadi pada usia 65 tahun dan 50 % pada usia 75 tahun (Carr dan Shepherd, dikutip Bonita dan Beaglehole, 1992). Menurut data di Amerika Serikat, insidensi stroke adalah sekitar 500.000 orang setiap tahun, dan prevalensinya adalah sekitar 800 per 10.000 penduduk (Soeroto, 2003). Di Indonesia stroke menjadi pembunuh nomor tiga setelah penyakit infeksi dan jantung koroner (Lumbantobing, 2002). Sedangkan khusus Jawa Barat, penyakit ini sudah menjadi pembunuh nomor satu sejak tahun 1986 (Widjajakusuma, 2004). Menurut data Depkes yang dikutip oleh Setyopranoto (2004) bahwa jumlah penderita stroke yang dirawat di rumah sakit meningkat dari waktu ke waktu. Salah satu contoh di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, hingga tahun 1995 rata-rata dirawat 726 penderita stroke dengan case fatality rate rata–rata 37,2 %. Adapun tahun 2000, terdapat 1.000 pasien yang dirawat. Menurut Sudomo (2006) jumlah penderita stroke di Indonesia kian meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan di Indonesia setiap tahun ada 500.000 penduduk terkena serangan stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat.
Gejala stroke harus menjadi kewaspadaan, khususnya bagi mereka yang beresiko kena stroke, seperti para pengidap darah tinggi, kencing manis, lemak (lipid) dalam darah yang tinggi, atau mereka yang mengidap penyakit jantung, atau gabungan dari penyakit-penyakit tersebut (Handrawan, 2004).
Stroke merupakan masalah serius karena dapat menyebabkan kematian, kecacatan, dan biaya yang dikeluarkan sangat besar, maka diperlukan usaha pencegahan untuk terjadinya stroke primer maupun stroke sekunder. Kasus stroke juga bisa muncul sebagai stroke yang berulang. Jika serangan stroke pertama tidak ditindaklanjuti dengan upaya menghentikan proses yang memupuk terbentuknya kembali faktor-faktor penyebab stroke, cepat atau lambat, serangan stroke susulan akan muncul lagi. Serangannya bisa muncul di lokasi otak yang sama, atau bisa juga di area otak lain dengan gejala dan manifestasi yang tentu berbeda (Hariyono, 2004).
Stroke juga sering menimbulkan permasalahan yang kompleks, baik dari segi kesehatan penderita, ekonomi maupun sosial serta membutuhkan penanganan yang komprehensif termasuk upaya pemulihan dalam jangka waktu yang lama bahkan sepanjang sisa hidup pasien (Mulyatsih, 2003). Secara ekonomi, dampak dari insidensi, prevalensi dan akibat kecacatan karena stroke akan memberikan pengaruh terhadap menurunnya produktifitas dan kemampuan ekonomi mulai dari ekonomi, tingkat keluarga sampai pengaruhnya terhadap beban ekonomi, masyarakat dan bangsa (Sudomo, 2006). Lumbantobing (2002) berpendapat bahwa banyak masyarakat awam yang tidak menyadari bahwa stroke sangat berbahaya. Informasi ini sering tidak didapat oleh masyarakat kalangan menengah kebawah. Yang perlu diketahui adalah sesungguhnya stroke merupakan keadaan gawat darurat. Stroke membutuhkan penanganan sesegera mungkin, sama hal nya dengan penyakit jantung. Jika pada penyakit jantung terjadi serangan jantung, sedangkan pada stroke terjadi serangan otak.
Problem pada pasca stroke yang paling dominan biasanya gangguan fungsi motorik, koordinasi dan keseimbangan serta gangguan aktifitas fungsional, selain gangguan-gangguan neurologis fokal lainnya sesuai area otak yang mengalami kerusakan. Pada pasien pasca stroke ditemukan adanya gangguan fungsi motorik karena kelayuhan otot dan gangguan koordinasi dan keseimbangan (Carr dan Shepherd, 1987). Keseimbangan yang cukup tidak hanya dibutuhkan untuk berjalan tetapi juga semua aktifitas pasien yang dilakukan selama hidupnya. Kemampuan mempertahankan keseimbangan merupakan dasar untuk melakukan semua gerakan terampil yang diperlukan untuk perawatan diri dan kerja. Oleh karena itu keseimbangan sangat penting untuk mengembalikan kemampuan fungsional pasien dengan kasus pasca stroke. Selain latihan gerak fungsional itu sendiri latihan gerak fungsional diberikan dengan harapan pasien lebih mandiri dalam melakukan aktivitasnya (Davies, 1994).
Tujuan fisioterapi pada penderita pasca stroke adalah untuk meningkatkan kualitas hidup, dapat bekerja kembali sesuai dengan pola gerak yang normal atau mendekati normal serta menurunkan tingkat kecacatan (Sudomo, 2006). Untuk mengatasi banyaknya gangguan tersebut diatas, banyak sekali manajemen rehabilitatif yang bisa digunakan mulai dari metode tradisional sampai dengan metode aktual seperti Proprioceptif Neuromusculair facilitation (PNF), Brunstrom, Bobath, Motor Relearning Programme (MRP) dan masih banyak lagi metode pendekatan yang bisa di berikan kepada pasien stroke yang pada prinsipnya adalah berdasarkan teori neurodevelopment, neurofisiologi dan kontrol motorik spesifik.
Salah satu metode yang cocok digunakan dalam penanganan gangguan fungsi motorik, gangguan koordinasi dan keseimbangan dalam melakukan aktifitas fungsional adalah Motor Relearning Programme. Motor Relearning Programme merupakan program yang melatih kembali kontrol motorik yang berdasarkan pemahaman kinematik dan kinetik gerakan normal, kontrol dan latihan motorik. Latihan ini harus diberikan sedini mungkin sebab pelatihan motorik sedini mungkin akan meningkatkan kapasitas pembelajaran adaptasi otak (Carr dan Shepherd, 1987).
Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Birgitta Langhammer dan Johan Stanghelle menunjukan hasil bahwa pasien yang ditangani dengan metode Motor Relearning Programme mendapatkan pemulihan yang lebih cepat dibanding pasien yang ditangani dengan metode Bobath. Pada 61 pasien stroke ditunjukkan hasil bahwa metode Motor Relearning Programme dapat memberikan hasil yang baik dalam meningkatkan fungsi motorik, keseimbangan dan aktivitas fungsional pasien. Dengan dipakainya metode ini, akan dapat memperpendek masa rawat inap pasien di Rumah Sakit (Langhammer & Stanghelle, 2000). Namun demikian, pilihan untuk menggunakan pendekatan selain Motor Relearning Programme pada kenyataannya masih banyak dipakai di lapangan. Hal inilah yang menarik bagi penulis untuk mengangkat metode Motor Relearning Programme sebagai pendekatan yang dipakai pada Karya Tulis Ilmiah ini.

To be continues...